9. Sa’id bin Zaid
Sahabat yang tidak terlalu menonjol, namun menjadi Jalan masuknya Umar bin Khattab masuk Islam.
“Ya Allah, jika Engkau memang tidak menghendaki kebaikan ini (agama Islam) untukku, maka janganlah Engkau halangi anakku (Sa’id) darinya.”
Begitulah Do’a yang dipanjatkan oleh Ayahnya Said bin Zaid, Zaid bin Amr bin Nufail sebelum beliau wafat. Ayahnya meskipun hidup di masa jahiliyah ia tak pernah sujud kepada selain Allah.
Sa’id bin Zaid memiliki hubungan kekeluargaan dengan Umar bin Khattab. Said bin Zaid menikah dengan adik Umar, Fatimah binti al-Khattab radhiallahu ‘anha. Dalam sebuah kisah diriwayatkan, sebelum masuk Islam Umar bin Khattab merupakan kerabat dekat Abu Jahal, golongan orang-orang yang termasuk membenci dan memusuhi umat muslim kala itu yang dipimpin oleh Muhammad SAW. Dalam sebuah kisah diriwayatkan bahwa Umarbin Khattab mulai resah dengan menyeruak dan menyebarnya agama islam di Mekkah, berangkat dari hal tersebut terbersitlah niat beliau untuk membunuh Rasulullah Muhammas SAW dengan tujuan agar kehidupan di kota Mekah menjadi tenang seperti semula.
Bergegaslah Umar untuk pergi ke Rumah Rasulullah, namun ditengah perjalanan Umar dihadang oleh seorang Sahabat yang bernama Mu’aib bin Abdullah yang memberitahukan bahwa sebelum engkau mengurusi urusan orang lain lebih baik beliau mengurusi Adiknya beserta suaminya yang telah memeluk agama islam terlebih dahulu. Mengetahui hal tersbeut, Umar geram dan membelokkan arah ke rumah Said bin Zaid untuk meyakinkan perkataan Mu’aib tersebut.
Sesampainya didepan pintu kediaman Fatimah dan Said, Umar bin Khattab tertegun sebentar karena mendengar suara lantunan ayat suci Al Qur’an dari dalam. Didalam Umar mendapati Fatimah dan Said sedang belajar Al Qur’an kepada sahabat lainnya bernama Khabab bin Ibnul Arrad. Melihat hal tersebut Umar marah lalu dengan seketika menganiaya Fatimah, Said beserta Khabab. Said berkata, “Wahai Umar bagaimana pendapat anda jika kebenaran itu tetap benar di pihak mereka?” Mendengar hal tersebut, Umar tambah emosi dan tambah mengeaniaya umar dan mendudukinya. Dari dalam terdengar pekikan keras dari Fatimah, “Hai Musuh Allah, engkau berani memukulku karena aku mengimani Allah? Hai Umar, berbuatlah yang engkau suka karena aku akan tetap bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.” Umar tersentak dan peristiwa tersebutlah yang menjadi titik balik Umar bin Khattab dalam memeluk agama Islam.
Di antara keutamaan Said bin Zaid adalah ia memiliki doa yang mustajab. Ini menunjukkan kedekatannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Suatu hari ada seorang wanita yang memfitanah Said. Ia mengatakan bahwa Said telah mencuri tanahnya dan memasukkan tanah itu ke bagian miliknya. Fitnah tersebut benar-benar menyakitkan Said. Hingga ia mendoakan orang tersebut,
اللَّهُم إِنْ كَانَتْ كَاذِبَةً فَأَعْمِ بَصَرَهَا، وَاجْعَلْ قَبْرَهَا فِي دَارِهَا
“Ya Allah, kalau dia dusta, buatlah matanya buta. Dan jadikanlah tempat wafatnya, tanahnya sendiri.”
Selang beberapa hari, wanita tersebut mengalami kebutaan. Ia meraba-raba berjalan di dinding. Wanita itu berkata, “Aku telah tertimpa musibah dengan sebab doanya Said bin Zaid.” Saat ia berjalan di tanahnya, ia melewati sumur dan terjatuh di dalamnya. Di situlah kuburnya.
10. Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Sahabat yang Paling dipercaya Rasulullah.
Sahabat inilah yang pertama-tama dijuluki sebagai pemimpin para pemimpin (Amirul Umara). Dialah orang yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kanannya seraya bersabda mengenai dirinya,
إِنَّ لَكُمْ أُمَّةً أَمِيْنًا، وَإِنَّ أَمِيْنَ هذِهِ اْلأُمَّةِ أَبُوْ عُبَيْدَةَ بْنُ اْلجَرَّاحِ
“Sesungguhnya setiap umat memiliki orang kepercayaan, dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.“
Orang kepercayaan inilah yang disebut-sebut Al-Faruq radhiallahu ‘anhu pada saat akan menghembuskan nafas terakhirnya, “Seandainya Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu ‘anhu masih hidup, niscaya aku menunjuknya sebagai penggantiku. Jika Rabb-ku bertanya kepadaku tentang dia, maka aku jawab, ‘Aku telah menunjuk kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-Nya sebagai penggantiku’.”
Ia masuk Islam lewat perantaraan Ash-Shiddiq di masa-masa awal Islam sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk Darul Arqam. Ia berhijrah ke Habasyah yang kedua. Kemudian kembali untuk berdiri di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salalm dalam Perang Badar. Ia mengikuti peperangan seluruhnya, kemudian melanjutkan berbagai peperangan bersama Ash-Shiddiq dan Al-Faruq radhiallahu ‘anhuma.
Sikap yang ditunjukkannya dalam perang Uhud menjelaskan kepada kita bahwa ia benar-benar kepercayaan umat ini, di mana ia tetap menebaskan pedangnya yang terpercaya kepada pasukan kaum paganis. Setiap kali situasi dan kondisi perang mengharuskannya jauh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berperang sembari kedua matanya memperhatikan di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertempur.
Di salah satu putarannya dan peperangan telah mencapai puncaknya, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu dikepung oleh segolongan kaum musyrikin. Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu kehilangan kesadarannya, ketika melihat anak panah meluncur dari tangan orang musyrik lalu mengenai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menyerang orang-orang yang mengepungnya dengan pedangnya dan seolah-olah ia memegang seratus pedang, sehingga membuat mereka tercerai berai. Lantas ia berlari bak terbang menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia melihat darah beliau yang suci mengalir dari wajahnya, dan melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap darah itu dengan tangan kanannya seraya bersabda,
كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ خَضَبُوْا وَجْهَ نَبِيِّهِمْ، وَهُوَ يَدْعُوْهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ
“Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melumuri wajah Nabi mereka, padahal dia menyeru kepada Rabb mereka.” (Lihat, Tafsir al-Qurthubi, 4/ 199)
Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu menerangkan kepada kita tentang fenomena ini lewat pernyataannya, “Pada saat perang Uhud, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkena lemparan sehingga dua bulatan besi menancap di dahinya, aku cepat-cepat menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara ada seseorang yang datang dari arah timur berlari kencang seperti terbang, maka aku katakan, ‘Ya Allah, jadikanlah itu sebagai ketaatan.’ Ketika kami sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata ia adalah Abu Ubaidah bin Jarrah yang telah datang lebih dulu daripadaku.” Ia berkata, ‘Aku meminta kepadamu, dengan nama Allah, wahai Abu Bakar, biarkan aku mencabutnya dari wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Aku pun membiarkannya. Ubaidah mengambil dengan gigi serinya salah satu bulatan besi itu, lalu mencabutnya dan jatuh ke tanah, gigi serinya pun jatuh bersamanya. Kemudian ia mengambil sepotong besi lainnya dengan gigi serinya yang lain sampai jatuh. Sejak saat itu, Abu Ubaidah di tengah khalayak dijuluki dengan Atsram (yang terpecah giginya, atau jatuh dari akarnya).
Pada saat delegasi Najran dari Yaman datang untuk menyatakan keislaman mereka, dan meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengutus bersama mereka orang yang mengajarkan kepada mereka Alquran, Sunnah dan Islam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka,
لأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلاً أَمِيْنًا، حَقَّ أَمِيْنٍ، حَقَّ أَمِيْنٍ، حَقَّ أَمِيْنٍ
“Aku benar-benar akan mengutus bersama kalian seorang pria yang sangat dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya.” (Thabaqat Ibn Sa’d, 3/ 314)
Semua sahabat berharap bahwa dialah yang bakal dipilih oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata persaksian ini menjadi keberuntungannya.
Umar Al-Faruq radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak menyukai suatu jabatan pun sebagaimana aku menyukainya pada saat itu, karena berharap akulah yang bakal memperolehnya. Aku pergi untuk shalat Zhuhur dengan berjalan kaki. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Zhuhur bersama kami, beliau mengucapkan salam, kemudian memandang ke kanan dan ke kiri. Aku menegakkan punggungku agar beliau melihatku.” Tapi beliau terus mengarahkan pandangannya hingga melihat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Kemudian beliau memanggilnya seraya bersabda,
اُخْرُجْ مَعَهُمْ، فَاقْضِ بَيْنَهُمْ بِالْحَقِّ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ
“Keluarlah bersama mereka. Putuskan perkara di antara mereka dengan haq dalam segala hal yang mereka perselisihkan’.“
Akhirnya, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu pergi bersama mereka.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu berjalan di bawah panji Islam. Sekali waktu ia bersama para pasukan biasa, dan pada kesempatan yang lain bersama para panglima. Sampai datanglah masa Umar radhiallahu ‘anhu, ia menjabat sebagai panglima pasukan Islam di salah satu peperangan besar di Syam. Ia mendapatkan kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peperangan ini, hingga ia menjadi hakim dan gubernur negeri Syam, dan perintahnya ditaati.
Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu mengunjungi Syam, dan bertanya kepada orang-orang yang menyambutnya, “Di manakah saudaraku?” Mereka bertanya, “Siapa?” Ia menjawab, “Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” Ketika Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu datang, Umar memeluknya. Kemudian Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu membawa Umar radhiallahu ‘anhu ke rumahnya. Di dalam rumah tersebut, Umar tidak melihat sedikit pun perkakas rumah tangga, kecuali pedang, perisai dan untanya. Umar radhiallahu ‘anhu bertanya kepadanya sembari tersenyum, “Mengapa engkau tidak memiliki sesuatu untuk dirimu sebagaimana dilakukan orang lain?” Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu menjawab, “Wahai Amirul Mu’minin, inilah yang bisa mengantarkanku ke akhirat.”
Pada suatu hari, pada saat Al-Faruq Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berada di Madinah, seorang informan datang kepadanya untuk mengabarkan bahwa Abu Ubaidah telah meninggal dunia. Mendengar hal itu, Al-Faruq radhiallahu ‘anhu memejamkan kedua matanya dalam keadaan penuh dengan air mata. Air mata pun mengalir, lalu dia membuka kedua matanya dalam kepasrahan. Ia memohonkan rahmat Allah untuk sahabatnya dalam keadaan air mata mengalir dari kedua matanya, air mata orang-orang shalih. Air mata mengalir karena kematian orang-orang yang shalih. Al-Faruq Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Seandainya aku boleh berangan-angan, maka aku hanya mengangankan sebuah rumah yang dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah.”
Kepercayaan umat meninggal dunia di atas bumi yang telah dibersihkannya dari paganisme Persia yang beragama Majusi dan dari keangkara murkaan Romawi. Di sana pada hari ini, di bawah tanah Yordan, jasad yang suci dikebumikan. Ia menjadi tempat bagi ruh yang baik dan jiwa yang tentram.
Jazzakumullah khoiron katsiro.
Wassalamualaykum warahmatullohi wabarokatu.
Sumber :
Channel Youtube Khalid Basalamah Official
Channel Youtube Inspira Studio
Tautan Kisahmuslim.com
Tautan Wikipedia : Sepuluh orang yang dijanjikan masuk Surga