Ketika dada seluruh bangsa itu kering, mereka membenci warna kulit yang lain, membenci agama yang lain, kurungan lalu dibuat, ada yang bernama Guantanamo, tapi ada yang lebih sempit: peti mati
Oleh: Harri Ash Shiddiqie
Beritalangitan.com – Siyono ditangkap aparat Densus 88, pulang sudah dalam keadaan meninggal. Tentu Siyono tak bisa bicara kenapa ia mati. Dan itu membuat umat tergerak, bukan sekedar ingin tahu, tapi rasa keadilan yang terkoyak membuat hati nurani luka.
Muhammadiyah bertindak cepat, tepat. Suratmi, istri Siyono juga teguh dan tegas. MUI juga sudah berbicara. Kini, tinggal nurani penguasa. Dengar lalu bertindak? Atau acuh saja?
Klaten bukan titik kecil yang jauh terpencil di perbatasan. Autopsi juga sudah dilaksanakan. Apalagi yang hendak ditutup?
Memang, bila pintu hukum ditutup, semua bisa diam, tapi tidak selesai.
***
Seseorang ditangkap lalu disiksa adalah kisah yang terjadi sejak ribuan tahun lalu. Dan apakah akan terjadi di masa depan? Jangan tanyakan itu di negeri kecil, miskin, yang hukum bisa ditukar dengan uang. Amerika, negeri besar yang merasa menjadi polisi dunia, juga tidak taat hukum. Sambil menyatakan dirinya sebagai negeri yang paling maju, modern dan beradab, mereka bangun Guantanamo.
Mereka menangkap orang-orang di negeri yang jauh, dikurung, dikatung-katungkan tanpa peradilan, bertahun-tahun.
Agustus tahun lalu, ketika tahanan Guantanamo itu bersisa 116 orang, The Guardian menulis, sebagian besar mereka adalah penghuni yang dipesan Amerika, dan kemudian dikirim oleh pemerintah Georgia, Turki, Mauritania, Uni Emirat Arab, Mesir, Thailand, Somalia dan Kenya.
Media itu juga menulis, pensiunan Angkatan Darat, Kolonel Stuart Herrington, mantan interogator militer terkenal, berkata tentang tugasnya, “Dari 300 tahanan awal di Guantanamo, data akurat biometrik yang dimiliki hanya 30%.”
Di Amerika, siapa yang bilang pintu hukum tidak dibuka? Tapi keadilan tidak berasal buku-buku besar, yang tebal dimuati pasal-pasal. Keadilan juga tidak berasal dari ruang megah yang berhias simbol timbangan di tangan sambil menghunus pedang.
Sebab keadilan itu sumbernya di dada.
Ketika sumber itu kering, karena tak yakin bahwa kelak setiap perbuatan di dunia akan ditimbang dan diadili, maka apapun yang dinyatakan sebagai sumpah, itu hanya sampah. Kebenaran? Itu hanya olok-olok, apapun bisa dinyatakan benar, tergantung kebutuhan, tergantung kepentingan.
Ketika sumber keadilan itu kering, maka para hakim memutus sesuai dengan kehendaknya, dengan seleranya. Istri yang menjadi bintang film porno diberi acungan jempol sebagai pahlawan pertumbuhan wisata, pertumbuhan ekonomi.
Ketika dada seluruh bangsa itu kering, mereka membenci warna kulit yang lain, membenci agama yang lain, kurungan lalu dibuat, ada yang bernama Guantanamo, tapi ada yang lebih sempit: peti mati.*
Staf Pengajar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember Jl. Kalimantan III, Jember-Jawa Timur. (Ft)
Sumber : Hidayatullah.com