Presiden AS terpilih dari Partai Republik, Donald Trump.
Oleh: Eli Clifton
beritalangitan.com – Pelarangan sementara Gedung Putih terhadap pengunjung dari tujuh negara mayoritas Muslim telah mencetus konflik konstitusional pertama di dalam pemerintahan Donald Trump selama akhir pekan ketika beberapa hakim federal memblokir sebagian perintah eksekutif tersebut.
Perhatian media sangat terfokus pada proses hukum yang sedang berjalan untuk melepaskan wisatawan dari tahanan di bandara di seluruh negeri dan mencegah deportasi.
Namun perihal tersebut menjadi kelayakan pengkajian ulang terhadap survei pendapat sangat tidak bermutu dan tidak ilmiah yang terinspirasi atas penargetan Trump untuk wisatawan Muslim.
Akar dari pelarangan Muslim kembali ke pelukannya dengan ketiadaan data Pew Research dan survei pendapat tanpa dasar ilmiah yang dilakukan oleh salah satu penasihat tertingginya (yang mengklaim bahwa dia menyebarkan “fakta alternatif”) dan ditugaskan oleh ahli teori konspirasi anti-Muslim terkenal adapun memiliki hubungan dekat dengan kepala strategi Trump, Steve Bannon.
Kemarin, rupanya dalam menanggapi protes di seluruh AS, Trump mengeluarkan pernyataan yang mengklaim bahwa perintah eksekutifnya disalahartikan sebagai larangan terhadap warga Muslim memasuki negara itu.
Dia berkata:
Menurut klaim, ini bukanlah larangan terhadap Muslim, sebagaimana media yang salah melaporkan. Ini bukan tentang agama –ini adalah tentang teror dan menjaga keamanan– negara AS.
Namun Trump secara eksplisit menyerukan “penutupan total dan sepenuhnya terhadap orang Muslim untuk memasuki negara Amerika Serikat sampai perwakilan negara kita dapat mengetahui apa yang sedang terjadi” pada tanggal 7 Desember 2015 lalu.
Dalam pernyataan tersebut, Trump mengutip dari survei pendapat oleh Pew Research dan Center for Security Policy (Pusat Kebijakan Keamanan) yang mendukung pernyataannya bahwa “ada kebencian yang besar terhadap Amerika oleh segmen yang luas dari populasi Muslim.”
Trump tidak mengarah kepada spesifik survei mana pendapat Pew Research itu, namun tidak satupun dari survei pendapat mereka mendukung kesimpulan itu.
Laporan dari Pew 2011 tentang warga Muslim Amerika menyimpulkan bahwa “tidak ada tanda-tanda pertumbuhan alienasi atau dukungan untuk ekstremis” dan menemukan bahwa hanya 21% dari warga Muslim Amerika mengatakan ada antara “banyak” (6%), atau “cukup” (15%) dukungan untuk ekstremis dalam komunitas mereka.
Studi ini juga menemukan bahwa warga Muslim Amerika secara garis besar merasa bahagia dengan kehidupan mereka di AS. Para penulis menyimpulkan:
[…] Warga Muslim Amerika belum merasa kehilangan kepercayaan terhadap negaranya. Mereka sangat puas dengan keadaan yang berjalan apa adanya dalam hidup mereka (82%) dan tetap menilai komunitas masyarakat mereka dengat sangat positif sebagai tempat untuk hidup (79% baik atau baik).
Tanggapan untuk Trump
Wakil presiden Pew untuk strategi global, James Bell, menanggapi pernyataan Trump, dengan mengatakan, “Pernyataan yang dirilis oleh kampanye Bapak Trump tidak memberi data spesifik yang dapat dijadikan acuan, jadi kami tidak bisa mengidentifikasi laporan yang ia referensikan.”
Meskipun penelitian Pew yang dikutip oleh Trump tidak ada, Pusat Kebijakan Keamanan tentu sebaliknya. Tapi asal dan metode survei pendapat merupakan tersangka utama.
Survei pendapat, menurut pernyataan Donald Trump, menunjukkan bahwa: “25% dari mereka yang disurvei setuju bahwa kekerasan terhadap warga Amerika di Amerika Serikat dibenarkan sebagai bagian dari jihad global” dan 51% dari mereka yang disurvei, “sepakat bahwa Muslim di Amerika harus memiliki pilihan yang diatur menurut Syariah. ”
Survei pendapat tersebut merupakan survei online opt-in atau survei dengan persetujuan sebelumnya dari orang-orang yang ingin menanggapi pertanyaan secara online –survei online opt in adalah survei internet dimana sampel populasi didapat dari orang-orang yang memang sedang atau kebetulan berselancar di situs tersebut dan setuju untuk menanggapinya- yang sangat tidak ilmiah dari 600 warga Muslim, faktanya bahwa Pusat Kebijakan Keamanan pada awalnya tidak mengungkapkan.*
Penulis pernah menjadi wartawan Independent News Network, ThinkProgress, dan Inter Press Service (IPS). Artikel dari laman lobelog.com diterjemahkan Ummu Qudsy