Dilema Umat Akhir Zaman

Penulis : Dr Abdi Kurnia Djohan Lembaga Dakwah PBNU

0
1931

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

يأتي زمان على أمتي القابض بالدين كالقابض بالجمر

Akan datang suatu masa kepada umatku, orang yang memegang ajaran agama seperti orang yang memegang bara api (riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Ucapan Rasulullah ini memberi isyarat tentang beratnya upaya yang dilakukan umat beliau pada akhir zaman di dalam mengamalkan ajaran agama. Beratnya upaya itu bukan disebabkan oleh sulitnya ajaran Islam.

Di dalam Al-Qur’an, telah dijelaskan bahwa Islam bukanlah agama yang memberatkan umatnya. Semua perintah dan larangan yang ada di dalam syariat, ditetapkan dalam kerangka rahmat.

وما جعل عليكم من الدين من حرج

Dan Dia tidaklah menjadikan bagi kalian kesukaran dalam agama ini. (Qs al-Hajj:78)

Jika memang, agama ini tidak berat pelaksanaanya, kenapa dikatakan bahwa pada akhir zaman mengamalkan ajaran agama dirasakan berat oleh umat Muhammad sholla Allahu alayhi wa sallam?

Beratnya upaya itu disebabkan oleh adanya penentangan yang datang dari umat Islam sendiri terhadap ajaran Islam. Dalam kaitannya dengan ritualitas beribadah, semua umat Islam sepakat bahwa sholat, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat dan melaksanakan haji ke Tanah Suci adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Tidak ada penolakan tentang itu.

Tapi, ketika semangat ibadah itu ditarik ke dalam kehidupan sehari-hari, umat Islam saling berdebat tentang penafsirannya. Sebagian umat Islam menganggap bahwa ibadah itu batasannya cukup di bilik pribadi. Ia tidak boleh berada di ranah publik, karena dianggap berpotensi merusak stabilitas.

Dengan kata lain, umat Islam mengakui sholat itu wajib tapi kewajiban itu tidak seiring dengan kewajiban mengamalkan makna kalimat yang ada di dalam sholat:

إن صلاتي ونسكي ومحياي و مماتي لله رب العالمين

Sungguh sholat, ibadah (kurbanku), hidupku dan matiku adalah untuk Allah Rabb semesta alam

Kenapa dikatakan tidak seiring? Silakan dipahami kalimat ” hidupku dan matiku adalah untuk Allah Rabb semesta alam”. Bukankah isi kalimat itu menunjukkan makna ketundukan untuk diatur menurut aturan Allah, yang tercantum di dalam Al-Qur’an, dijelaskan di dalam Sunnah dan dicontohkan oleh generasi awal umat Islam?

Tapi, sebagian umat Islam menolak simpulan itu dengan dalih ada perbedaan argumentasi heurmeneutis di antara generasi-generasi muslim yang dipisahkan oleh jarak waktu yang begitu panjang. Sebagian lagi memberi penolakan dengan alasan bahwa simpulan itu tidak valid jika tidak ada klarifikasi dari para ulama yang menurut mereka otoritatif. Padahal, definisi ulama yang otoritatif versi mereka masih sumir karena batasan yang mereka buat, berbeda dengan umat Islam lainnya buat.

Perdebatan-perdebatan seperti itu makin menambah keruwetan di dalam beragama. Belum selesai satu benang kusut terurai, muncul lagi keragu-raguan di dalam beragama dengan munculnya terminologi-terminologi yang membuat umat Islam bingung tentang bagaimana berislam yang utuh.

Di tengah kebingungan itu muncul celetukan bahwa berislam itu adalah kemanusiaan. Tidak perlu dalil untuk memahamkan bagaimana kemanusiaan itu diterapkan. Tapi yang menjadi pertanyaan, jika berislam itu adalah kemanusiaan kenapa Nabi Muhammad harus berlama-lama menunggu datangnya wahyu selama 23 tahun lalu memerintahkan agar semuanya ditulis dan dikumpulkan? Tidakkah cukup bagi beliau melakukan perenungan selama beberapa bulan seperti dilakukan Lia Eden dan Moshaddeq untuk menegaskan bahwa Islam itu adalah kemanusiaan.

Dan lebih aneh lagi, ketika kritik seperti ini dimunculkan, respon yang diberikan adalah pikiran seperti ini sudah terpapar dampak meledaknya pembangkit nuklir chernobyl atau ini adalah cara berpikir khas Jarkamnas (Jaringan Kampret Nasional).

Lalu, bagaimana seharusnya kita berislam kalau begitu? Ya jawabannya berislamlah dengan canggih alias cangkemmu enggah enggih.

Salam Dzulhijjah

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.