Islam Nusantara dan Agenda Anti Arab

Oleh: Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I. (Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur)

0
1219

Islam Nusantara tidak boleh menjadi dalih, atau diartikan sebagai pengotakan Islam. Syari’at Islam itu bersifat universal (syumuly) untuk setiap lini kehidupan, dalam lintas waktu dan tempat. Islam berpaham Ahlussunnah Wal-Jama’ah meyakini kewajiban yang jumlahnya lima yang disebut Rukun Islam, dan meyakini keenam rukun lain yang disebut dengan Rukun Iman, yaitu Iman kepada Allah, para malaikat Allah, kitab-kitab Allah, para utusan Allah, kepada hari akhir, dan kepada qadha dan qadar.

Telah dikutip sebelumnya, penambahkan pada ‘Islam’ kata deiksis, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Mesir, dan seterusnya, itu berada pada hal pengertian hukum-hukum ijtihadiyyat yang bersifat dinamis, yang berpotensi untuk berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan kondisi tertentu, sah dan wajar. Demikian pula, Islam Nusantara bagi pihak pro, justru bermakna pada metodologi untuk mendakwahkan universalitas Islam di Nusantara, bukan untuk melokalisasi Islam.

Penambahan kata ini juga tidak berarti fasisme yang menebarkan kebencian terhadap bangsa dan budaya negara manapun. Oleh karena itu, arus Islam Nusantara memerlukan batasan agar tidak menjadi gerakan anti Arab. Kata “Nusantara” bukan untuk mengatakan sesuatu yang “bukan Arab”.

Istilah Islam Nusantara tidak menafikan keberadaan Islam di negara atau wilayah lain. Perbedaan antara Islam Nusantara sebagai metodologi dakwah dengan metode yang dikembangkan di wilayah lain, baik di Afrika, Eropa, atau di wilayah Arab adalah ‘perbedaan yang tidak saling menafikan’ (ikhtilaf tanawwu’), bukan ‘perbedaan yang saling menafikan’ (ikhtilaf tadhadh), karena tiap daerah memiliki karakteristiknya sendiri. Sebagai ikhtilaf tanawwu’, keberadaan Islam Nusantara memperkaya khazanah dan metode dakwah keislaman sesuai dengan karakter wilayah ini, serta tidak menafikan universalitas (syumuliyah) Islam.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pernah mengatakan, “Para pengusung Islam Nusantara hendaknya tetap rendah hati dan tak jumawa merasa yang paling benar sendiri, serta mampu bertoleransi sebagaimana aplikasi Islam di bumi Nusantara ini.” (Endorsmen pada buku Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan (Bandung: Mizan, 2015)

Kekerasan dan peperangan yang terjadi di beberapa negara Arab tidak dapat dikaitkan karena mereka berislam ala Arab, bukan ala Nusantara. Orang Islam Nusantara tidak laik mengatakan, “Islam kita (baca: Nusantara) lebih baik daripada Islam mereka (baca: Arab).” Apa yang terjadi di negara Arab, atau dilakukan oleh orang Arab, sungguh tak dapat langsung dikaitkan dengan cara berislam mereka. Ada domain kultur, karakter personal, sikap, bahkan – yang lebih dominan dan terselubung – ada politik dan kepentingan yang melatarbelakangi setiap konflik yang terjadi.

Memang terdapat indikasi, Islam Nusantara digunakan untuk membedakan khazanah keislaman ala Arab dan Nusantara. Hal ini amat rumit untuk dipraktikkan. Dalam bahasa Gus Najih, kegiatan keagamaan masyarakat Indonesia yang sepenuhnya berasal dari Islam seperti tahlilan, yasinan, maulidan, manaqiban, thariqahan, dan sebagainya, pada dasarnya di negara-negara Arab juga dilaksanakan, seperti di Syria, Yaman, dan lainnya. “Lalu mengapa para pendukung Islam Nusantara menolak Islam Arab, padahal amaliah mereka sama?” tanya beliau.

Peneliti mengamini pernyataan tersebut. Pasalnya, sejarah dan realita hingga saat ini menafikan keinginan untuk membeda-bedakan praktik keagamaan atau amaliah “ala Arab” dan “ala Nusantara” itu. Satu contoh, seorang tokoh di Indonesia pernah mengeluarkan statemen yang intinya, “tidak perlu membaca Ratib, karena sudah ada istighathah, tidak perlu membaca Simthud Durar, karena sudah ada Shalawat Badar.”

Pernyataan tokoh itu dapat saja dinilai sederhana. Namun bila terus dikembangkan akan memicu pada pengotakan umat Islam di Indonesia, yaitu antara “produk asli Nusantara” dengan “produk Arab”, atau antara para pengamal Ratib dengan pengamal istighathah, atau bahkan, antara habaib sebagai keturunan Rasulullah yang Arab, yang banyak mengamalkan Ratib, dengan para kiai yang beristighatsah.

Istilah Ratib dan Simthud Durar memang secara tendensius merujuk pada amaliah para habaib dan pecintanya (muhibbin). Sementara istilah istighathah dan shalawat Badar merujuk pada amaliah yang selama ini dipraktikkan warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyyin). Kedua kalangan ini merupakan khazanah berharga bagi Ahlussunnah Wal-Jama’ah di bumi Nusantara.

Membeda-bedakan berbagai amaliah tersebut, akan sulit dibenarkan oleh sejarah dan realita. Pasalnya, bila ditelusuri sejarah dan motifnya, amaliah-amaliah tersebut bersatu padu di Nusantara, tanpa harus dipertentangkan satu sama lain. Apalagi sampai disinyalir bahwa mengamalkan salah satu dan meninggalkan yang lain dapat menyebabkan kehancuran.

Bahkan, sejarah penyusunan Shalawat Badar, sangat kental diwarnai nuansa “kerjasama” kalangan habaib dengan kiai. Tepatnya adalah antara Ketua NU Banyuwangi di era 60-an, Kyai Ali Mansur sebagai penyusun, Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi sebagai konsultan, dan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, Kwitang Jakarta sebagai perestu, bahkan penyebar Shalawat Badar. (Lihat: Antologi NU : Sejarah – Istilah – Amaliah – Uswah, karya H. Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan)

Akhirnya, guna merealisasikan tujuan pihak pro Islam Nusantara sebagaimana telah dipaparkan dalam kajian ini, sekaligus mengakomodasi kritikan pihak kontra yang pada intinya berusaha merawat dan menjaga ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah, maka terma Islam Nusantara harus diberi batasan dan kriteria.

Apabila Islam Nusantara dimaknai dan diwarnai dengan baik, maka istilah ini akan menjadi materi operasional dakwah ala Aswaja, atau Aswaja Terapan bagi Nahdlatul Ulama. Hal ini juga untuk mencegah agar NU tidak hanya menjadi kendaraan politik dan alat pragmatisme politis, atau dimanfaatkan oleh penguasa demi kepentingan politis sesaat, sebagaimana juga disampaikan oleh pihak kontra Islam Nusantara.

Apabila Islam Nusantara dimaknai dengan sesuatu yang tidak sesuai dengan prinsip yang selama ini dipegang oleh NU, selain a historis dengan misi dan sejarah pendiriannya, gagasan ini akan kontradiktif dengan tujuan organisasi terbesar di Indonesia ini.

Maka mengawal Islam Nusantara yang telah menjadi tema muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama dalam suatu framework mabadi’ ashrah menjadi suatu keniscayaan. Mabadi ‘Ashrah atau Sepuluh Prinsip Dasar Islam Nusantara tersebut berisi deskripsi umum tema keilmuan ini. Ia berfungsi sebagai peta, outline, term of reference (TOR), sketsa kasar, serta informasi awal mengenai bangunan ilmu (body of knowledge) kajian Islam Nusantara, serta bahan operasionalisasinya. Harapannya, Islam Nusantara tidak berlawanan dengan diktum-diktum syari’ah, atau menafikan universalitas ajaran Islam, sesuatu yang tentu tidak diharapkan oleh para pendiri dan aktivis Nahdlatul Ulama.

(dikutip dari buku Kontroversi Islam Nusantara: Menjernihkan Polemik dalam Bingkai Mabadi Asyrah, oleh Faris Khoirul Anam, 2016)

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.