JAKARTA, 27/1 (beritalangitan.com) — Berbicara tentang Islam, Kätlin Hommik-Mrabte kembali teringat akan kejadian singkat yang pernah dialaminya ketika masih berumur tiga tahun. Pada waktu itu, Kätlin kecil bertanya kepada ayahnya, apa yang bakal dihadapi manusia setelah kematian?
“Ayahku begitu kagum mendengar pertanyaan seperti itu bisa muncul dari pikiran anaknya yang masih kecil. Namun sayang, ia tidak mampu menjawab pertanyaanku ketika itu,” tutur Kätlin membuka kisah petualangan rohaninya.
Di negeri asalnya, Estonia, agama dan keyakinan dianggap sebagai hal yang tabu. Apalagi selama berada di bawah rezim komunis Soviet, tidak seorang pun diperbolehkan membicarakan topik yang berbau agama. Segala bentuk aktivitas keagamaan benar-benar dilarang pada masa itu. Menurut kebanyakan orang di negaranya, hanya orang gila yang percaya kepada Tuhan.
“Kosmonot Soviet telah menjelajahi ruang angkasa, dan mereka sama sekali tidak melihat keberadaan Tuhan di langit. Karenanya, kamu hanya akan terbaring di tanah setelah mati,” begitulah jawaban yang diperoleh Kätlin dari ayahnya pada waktu itu.
Namun, jawaban semacam itu tak pernah membuat Kätlin merasa puas. Misteri seputar kehidupan dan keberadaan Tuhan terus saja mengganjal di dalam benaknya hingga dewasa. Hal itu pada akhirnya mendorong perempuan itu untuk mencari kebenaran dengan caranya sendiri.
“Sejak kecil aku selalu yakin bahwa Tuhan itu ada. Hanya, aku tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk menyebut nama-Nya,” ujar Kätlin.

Mengapa Nabi Adam tak Dianggap Tuhan
Memasuki usia SD, Kätlin mendapat bimbingan agama Kristen dari neneknya. Berbeda dengan ayahnya yang ateis, sang nenek justru sangat taat menjalankan ajaran agama. Dari perempuan itulah, Kätlin mengenal konsep-konsep ketuhanan dalam Kristen.
Pada 1991, Estonia memperoleh kemerdekaan menyusul runtuhnya Uni Soviet. Sejak itu, orang-orang Estonia kembali memperoleh kebebasannya untuk menjalankan agama. Berbagai aktivitas keagamaan pun mulai tumbuh berkembang di negeri itu. Termasuk kebaktian di gereja, sekolah Minggu, dan sejumlah kegiatan lainnya.
Kätlin yang ketika itu masih berusia 11 tahun, akhirnya memutuskan untuk mengikuti sekolah Minggu, yakni kelas khusus bagi anak-anak untuk belajar agama Kristen. Akan tetapi, ia tidak bertahan lama di sekolah itu. “Guru-guru di sana mengusirku dari kelas. Mereka bilang, aku ini terlalu banyak bertanya,” ucap Kätlin.
Bagi Kätlin, keputusan guru-gurunya mengeluarkannya dari sekolah Minggu itu sangatlah tidak masuk akal. Padahal, ketika itu ia hanya ingin mengetahui alasan teologis yang mendasari ketuhanan Yesus Kristus.
“Jika Yesus disebut anak tuhan karena lahir tanpa ayah, mengapa Adam yang tidak memiliki ayah dan ibu tidak bisa dianggap tuhan? Mereka (guru-guru di sekolah Minggu—Red) marah mendengar pertanyaanku tersebut. Mereka bilang, aku ini kurang beriman,” tutur Kätlin lagi.
Ketika usianya menginjak 15 tahun, Kätlin mencoba mempelajari lebih banyak lagi tentang Kristen. Namun pada akhirnya ia menyadari bahwa begitu banyak ajaran agama tersebut yang tidak bisa diterima oleh akal sehatnya. “Pada akhirnya, aku harus mencari sesuatu yang lain di luar Kristen,” imbuhnya.

Memilih Islam
Setelah belajar tentang berbagai macam agama, Kätlin akhirnya berkenalan dengan Islam. Meskipun demikian, butuh waktu lama baginya untuk mempelajari agama samawi tersebut. Setelah tiga tahun berlalu, ia semakin yakin bahwa Islam adalah jawaban atas segala pencarian spiritualnya selama ini.
Pada usia 21 tahun, Kätlin akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam. Keputusan itu diambilnya bertepatan pada bulan suci Ramadhan 2001. Selanjutnya, ia pun mulai menjalani puasa pertama dalam hidupnya. Ia tempa dirinya dengan baik untuk memperkokoh keimanannya. Baginya, bulan suci Ramadhan adalah sarana untuk mendidik manusia meraih kesempurnaan.
“Ketika orang-orang menanyakan alasanku memilih Islam, aku biasanya memberitahu mereka bahwa agama ini mampu menjelaskan siapa diriku sesungguhnya. Islam mampu menggambarkan hakikat penciptaan manusia dengan sempurna,” ujar Kätlin.
Sejak menjadi Muslimah, Kätlin memperoleh kedamaian batin yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Terutama setiap kali menyambut Ramadhan, ada semacam suasana yang sangat spiritual yang dialaminya.
“Sebagai Muslim, kita benar-benar diberkati Tuhan. Kita berpuasa selama satu bulan setiap tahunnya untuk membuat diri kita menjadi lebih baik. Ini adalah cara Tuhan mendidik kita. Inilah jalan kebenaran!” ucap perempuan berumur 35 tahun itu lagi. (RA/Republika)