Oleh : Suprio Guntoro
Dizaman Orde Baru, kita pernah mencapai era swasembada beras, yakni pada tahn 1984. Tetapi prestasi tersebut tidak bertahan terlalu lama. Beberapa tahun kemudian, swasembada beraspun mulai goyah dan akhirnya import pun tidak bisa dihindari, meski jumlahnya relatif kecil. Pemerintah pun segera mengambil sikap demi kembali dan mempertahankan swasembada beras, saat itu Suharto mengintruksikan program diversifikasi pangan sejak tahun 1988.
Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak sepenuhnya bergantung pada bahan pangan beras. Karena jika pangan pokok seratus persen beras, di banyak daerah akan mengalami persoalan dengan kebutuhan supplai air yang amat besar. Memang program Orde Baru ini cukup berhasil. Generasi muda, era 90 an, mulai banyak mengkonsumsi pangan di luar beras (nasi), seperti mie, roti dll.
Tetapi ini menjadi ironis, karena makanan substitusi beras tersebut hampir 100 persen berupa tepung terigu yang berasal dari gandum. Akibat program diversifiksi pangan ini, memang kita berhasil menghentikan import beras, tetapi kita tidak bisa menghindari import tepung terigu, karena kita “lupa” mengawalinya dengan pengembangan gandum.
Menghadapi masalah pangan terkadang pemerintah dihadapkan pada masalah yang pelik, yakni meningkatnya angka kemiskinan, mengingat tingkat pendapatan akan berengaruh terhadap daya beli. Bagi mayoritas rakyat Indonesia, porsi pendapatan unuk belanja pangan masih amat besar.
Sehingga harga pangan menjadi pembentuk inflasi dominan. Untuk itu perlu kebijakan yang tepat dan pelaksanaan yang konsisten berjangka panjang, untuk mengendalikan inflasi pangan.
Tekait dengan hal tersebut Bank Dunia berpandangan bahwa meningkatnya angka kemiskinan sekitar tahun 2005-2006 ada korelasinya dengan harga pangan yang terus meningkat. Karena itu Bank Dunia merekomendasiksan bahwa menurunkan harga dan mencabut larangan import bahan pangan merupakan resep jitu untuk menekan laju angka kemiskinan. Maka pemerintah sejak tahun 2007, memutuskan melakukan import dan operasi beras ke pasar, dalam upaya menekan harga beras di pasar yang harganya melambung.
Agaknya langkah jangka pendek dan reaktif seperti operasi pasar dan program Beras untuk Rakyat Miskin (RASKIN) menjadi langkah utama ketimbang langkah jangka panjang meningkatkan produksi dan pemberdayaan masyarakat desa melalui pembenahan persoalan yang kronis, seperti menangani krisis pupuk, persoalan benih, mahalnya pestisida, hancurnya jaringan irigasi serta makin derasnya alih fungsi lahan.
Dalam kondisi darurat untuk menurunkan harga mungkin langkah import dan operasi pasar masih bisa dimaklumi. Tetapi jika terus menerus menjadi “jalan pintas” dalam jangka panjang justru akan mengoyak kemandirian rakyat dan bangsa dalam memenuhi kebutuhan pangan (Bersambung)…