Oleh; Suprio Guntoro
Sebenarnya pada saat Nabi Yusuf As, menemui Raja Mesir terkait mimpi raja, Nabi Yusuf bukan hanya menyampaikan tentang takwil mimpi, tetapi juga menyampaikan berbagai gagasan dan idenya, terkait dengan langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menghadapi akan datangnya kemarau panjang. Hal ini terekam dalam Al-Qur’an Surat Yusuf Ayat 47: “Dia (Yusuf) berkata, “Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun berturut-turut, sebagaimana biasa, kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan tangkainya. Kecuali sedikit untuk kamu makan”.
Jadi sebelum diangkat sebagai Perdana Menteri, Nabi Yusuf telah mengemukakan gagasan dan konsepnya dalam menghadapi masa paceklik yang lama kepada raja. Yang di mana, di hulu perlu langkah intensifikasi budidaya gandum secara konsisten dan di hilir perlu pemanfaatan potensi lumbung-lumbung sebagai tempat penyimpanan hasil panen. Dengan teknologi peenyimpanan hasil panen yang tepat guna, yakni dengan membiarkan bulir- bulir gandum tetap melekat di tangkai (tidak diketam), kecuali sebagian kecil yang akan dikonsumsi.
Al-Hafizh Ibnu Katsir (dalam Abu Fida’. 2008) menyatakan, Raja Mesir menjadi ta’jub dan terpesona dengan ide-ide cemerlang Yusuf. Sehingga raja berketetapan hati mengkat Yusuf sebagai pejabat tinggi di Mesir. Namun Yusuf masih mengajukan diri sebagai bendahara negara. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Yusuf Ayat 55: “Berkata Yusuf, “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah pandai menjaga lagi berpengetahuan”.
Menurut Asy Sya’libiy (dalam Abu Fida’. 2008) permintaan Yusuf tersebut, bukan karena ia mabuk kekuasaan, namun didorong oleh rasa tanggung jawab, agar cadangan pangan yang tersimpan di lumbung-lumbung dapat dimanfaatkan seluruhnya untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat selama musim paceklik, sehingga tidak satupun penduduk Mesir yang kelaparan. Yusuf sangat khawatir jika cadangan pangan tersebut sampai dikorup oleh para pejabat yang kotor, atau dibagikan secara tidak adil, hanya diberikan kepada kelompok tertentu. Karena itu, ia kemukakan bahwa dirinya mampu menjaga dan berpengetahuan. Artinya Yusuf memiliki sistem manajemen kontrol, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Sehingga, raja memberinya jabatan rangkap.
Terkait dengan teknik penyimpanan gandum di lumbung seperti cara yang disampaikan oleh Nabi Yusuf As. kepada raja (Surat Yusuf 12: Ayat 47), dari hasil penelitian Prof. Dr. Abdul Mujib Balabid dari Univesitas Wajdah (Maroko) menunjukkan bahwa biji gandum yang disimpan dalam kondisi masih menempel pada malainya (tidak dirontokkan) selama dua tahun tidak mengalami sedikitpun penurunan kandungan gizinya, hanya mengalami kehilangan sedikit kandungan air. Tapi biji gandum yang telah terlepas dari malainya yang disimpan dalam waktu satu tahun saja akan kehilangan 20% kandungan nutrisinya dan bila disimpan sampai dau tahun akan kehilangan 32% kandugan nutrisinya. Ini menunjukkan bahwa apa yang disampaikan dalam Al-Qur’an mengandung kebenaran secara ilmiah.
JABAL
Hal yang menarik lagi dalam mengintegrasikan di hilir, Nabi Yusuf memanfaatkan lumbung tidak hanya untuk menyimpan hasil panen untuk konsumsi tapi juga untuk menyimpan cadangan benih. Sebagaimana terekam dalam Al Qur’an Surat Yusuf Ayat 48: “Kemudian setelah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit) kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan”.
Saya jadi teringat saat menghadiri Pekan Nasional (PENAS) Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Bulan Juli 1987 di Maros, Sulawesi Selatan. Dalam Sarasehan (rembug utama), Soeharto mengitruksikan para petani agar memanfaatkan lumbung- lumbung disamping untuk menyimpan gabah konsumsi serta untuk menyimpan calon benih terpilih (benih induk.) Tujuannya agar apa? Agar jika di daerah itu terjadi gagal panen karena kekeringan, banjir, atau akibat serangan hama/penyakit masih memiliki cadangan benih unggul. Soeharto juga memerintahkan agar antar lumbung, antar desa, antar kecamatan hingga antar kabupaten saling berkoordinasi dan saling bantu dalam pengadaan benih. Lalu membentuk sistem jaringan yang dinamai dengan sebutan JABAL (Jaringan Benih Antar Lapang). Boleh jadi gagasan tersebut terinspirasi dari Al-Qur’an. Saya kurang tahu, tetapi yang jelas dengan adanya JABAL stabilitas ketersediaan benih padi amat terjaga. Namun sayang, pasca reformasi, keberadaan JABAL tidak terdengar lagi.
Di tahun 2014, dalam ceramahnya dihadapan para peneliti, Prof. Dr Agus Pakpahan menyatakan bahwa, meski kondisi sudah carut marut, jika ada kemauan untuk bangkit dan menata, Indonesia masih punya harapan untuk meraih kembali kedaulatan pangan dan kamandirian energi. Karena Indonesia sesungguhnya memiliki banyak “input” untuk meraih itu, baik “input” sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), teknologi, kelembagaan maupun sarana. Persoalannya menurut Prof. Agus, siapakah yang mampu mengintegrasikan seluruh “input” tersebut, agar bisa digerakkan secara sinergis dan terarah. Ini sangat tidak mudah. Karena diperlukan figur, yang tidak saja memiliki pengetahuan yang rinci terkait dengan “Input-input” yang dimiliki negara ini, memiliki wawasan luas, dan pemikiran ke depan, tetapi juga harus memiliki akhlak dan moral yang mulia. Diperlukan figur yang amat credible, yang patut dijadikan contoh dan panutan. “Apakah ada saudara-saudara?” Tanya Prof. Agus, hadirin tidak ada yang berkomentar. Semuanya menunduk lesu.
Pembaca, jika semua saya uraikan satu persatu tidak akan ada habis nya. Tapi dengan uraian yang terbatas ini telah terungkap beberapa hal tentang kebenaran Al-Qur’an yang amat penting kita jadikan pelajaran dalam menghadapi realita kehidupan, yaitu dengan memilih jalan yang lurus. Semoga ke depan ada diantara pemimpin atau pejabat kita yang suka membaca Al-Qur’an. Aamiin. Wallahu a’lam, biss- sawab (habis)
Editor : Mulki