Oleh : Syahidah
Topik mengenai kesehatan mental tengah hangat diperbincangkan, topik yang semula tabu, kini begitu mudah kita ditemukan. Edukasi mengenainya dapat dicari pada berbagai platform, seperti Tiktok, Instagram, Facebook, Youtube. Malahan, bagi kaula muda edukasi mengenai kesehatan mental menjadi salah satu wawasan wajib. Mereka bahkan berbondong-bondong menyiarkan edukasi mengenai Mental Health, guna mewujudkan lingkungan interaksi yang nyaman bagi sesama manusia.
Namun tentu saja, hal tersebut juga mendapat banyak sanggahan atau kritikan, dan seringkali para penyitas mental issue mengeluhkan tanggapan dari orang terdekatnya yang malah bersikap menyepelekan, salah satu tanggapan yang sering ditemui adalah, “Kamu tuh bukan butuh ke psikiater, tapi kurang sholat sama ibadah”, maka hal seperti itu tidak hanya melukai perasaan sang penyitas namun juga menjadikan gambaran negatif untuk pemikiran islam.
Lantas sebenarnya bagaimanakah kita harus menyikapi hal tersebut? Seperti apakah kacamata islam memandang kesehatan mental?
Istilah mental dalam sejarahnya berasal dari bahasa Yunani, yang dalam bahasa Latin disebut sebagai psikis atau jiwa. Pengidab gangguan mental, baik ringan maupun berat, biasanya menjadi momok negatif pada masyarakat awam bahkan seringkali mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan seperti dikucilkan, dipasung, dikurung, dipermalukan dan hal-hal lainnya yang seringkali tidaklah manusiawi. Seolah-olah hal tersebut menjadi sebuah aib dan layak untuk diperlakukan semena-mena.
Gangguan mental sendiri terjadi akibat berbagai faktor, biologis dan psikologis, akibat yang paling sering adalah karena faktor psikologis. Entah itu trauma, pergaulan, kehilangan, kesepian dan lainnya.
Hal ini pula yang menjadi titik terang mengapa dimasa pandemik covid-19 ini kasus terkait gangguan mental berkembang pesat, hal inipun disampaikan langsung oleh badan kesehatan dunia (WHO).
Maka munculah empati terhadap persoalan ini yang melahirkan para aktivis dan gerakan-gerakan kesehatan mental, mereka ada untuk mengupayakan hak-hak yang seharusnya diberikan pada penyitas juga mengedukasi masyarakat banyak untuk dapat lebih bijak dalam mengatasi hal tersebut.
Tentu dalam hal ini islam mendukung penuh, sebab tujuannya untuk membangun kepedulian antar sesama manusia dan islam jelas menolak tindakan merusak, mencela atau merendahkan sesama. Islam menjungjung tinggi kesetaraan juga kehormatan.
Secara keseluruhan pandangan islam pada kesehatan mental tidaklah jauh berbeda dengan pandangan medis. Sebab dalam islam, sehat secara akal merupakan salah satu syarat wajib diterimanya sholat, oleh karena itu memelihara akal agar tetap sehat atau waras adalah sebuah upaya dalam menjaga ibadah.
Islampun memiliki cara-caranya dalam memelihara hal tersebut, seperti halnya dengan memperbanyak dzikir, shalawat dan senantiasa mengingat Allah swt.
“Ingatlah Allah dikala senang, maka Allah akan mengingatmu di waktu sempit” (HR. Tirmidzi).
Mengapa dengan ibadah kita dapat memelihara akal? Sebab dalam keadaan beribadah kita diharuskan fokus dan sadar, paham dengan apa yang kita perbuat dan dikala beribadah pula ketenangan batin juga jiwa dapat kita rasakan.
Mengambil referensi dari sebuah tulisan karya Purmansyah Ariandi dari Universitas Muhammadiyah Palembang.
Kesehatan mental dalam islam dikenal juga sebagai al-tibb al-ruhani, pertama kali diperkenal oleh seorang dokter asal Persia (Abu Zayd Ahmed ibnu Sahl al-Balki) pada kitabnya yang berjudul al-Abdan wa al-Anfus (Makanan untuk Tubuh dan Jiwa). Dalam bukunya beliau menjelaskan bahwa bila tubuh sakit maka kita akan meresakan panas, sakit perut, pusing dan hal lainnya. Namun, apabila jiwa kita yang sakit maka yang akan kita rasakan adalah kesedihan, kemarahan den gejala lainnya yang berhubungan dengan kejiwaan.
Sedangkan mental yang sehat menurut Dr. Jalaluddin (Psikologi Agama) bahwa, mental yang sehat dapat di definisikan dengan ;
“Kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman dan tentram, dan upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan anatara lain dengan penyesuaian diri secara regisnasi (Penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan).”
Agama sebagai terapi kesehatan mental ditunjukan dengan jelas dalam Al-Qur’an ;
“Barang siapa yang mengerjakan amalan shaleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman. Maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl 16:97)
Disini menjelaskan bahwasanya dengan beramal dan melakukan kebajikan Allah sudah menjanjikan kepada kita jalan yang sempuran, kehidupan dengan skenario terindah dari yang Maha Kuasa.
Gangguan mental dalam kasusnya menyebabkan para penyitas menjadi seseorang yang hilang arah dan tujuan, bahkan kesadaran namun islam sebagai agama yang menuntun dan memberi petunjuk telah dengan gamblang membuka jalan lebar bagi siapapun yang mau beriman dan taat.
Dengan mengimani kemudian melaksanakan ibadah-ibadah yang diwajibkan ataupun disunnahkan sebenarnya islam telah menyediakan Psikoterapi gratis bagi siapapun. Shalat dan berdoa yang membuat kita mengenal kembali akan harapan dan semangat, puasa yang mengajarkan kita untuk senantiasa sabar dan bersyukur atas segala yang kita miliki.
Maka, simpulan daripada apakah islam mendukung terhadap gerakan kesehatan mental? Itu sangatlah benar adanya, malahan dalam islam sendiri telah menyediakan cara-cara memelihara dan menyembuhkannya.
Oleh karena itu ungkapan, “Kamu tuh bukan butuh ke psikiater, tapi kurang sholat sama ibadah” adalah sesuatu yang benar tujuannya namun harus dikoreksi penyampaian dan ditegaskan dasar pemikirannya.
Islam tidak melarang seseorang untuk pergi ke psikiater atau menggunakan tenaga medis sebagai salah satu jalan penyembuhan dalam kesehatan mental, hal tersebut pasti dibutuhkan makala penderita menderita gangguan mental parah atau secara biologis yang membutuhkan bantuan dari obat-obatan.
Tapi bukan berarti dengan melakukan ibadah tidak membantu apapun dalam kesehatan mental seseorang, malahan dengan beribadah dapat meningkatkan tingkat kesembuhan dan pemeliharaan pada mental.
Maka ungkapan seperti itu dihilangkan dan diganti dengan sesuatu yang lebih baik dengan dasar pemikiran yang sesuai, agar kita sebagai umat islam yang tengah dalam jalan perjuangan juga dakwah dapat senantiasa menjadi gambaran akan kebaikan. Islam itu memperluas pikiran atau open minded dengan menafsirkan segala yang telah ditunjukan dalam Al-Qur’an dan Hadist bukan mempersempit pemikiran dengan mencari jalan dengan hal-hal yang menyeleweng dari syariat.