Saya mencoba memahami kenapa mayoritas pemimpin negara-negara di Timur Tengah–minus Iran dan Suriah–lebih memilih bekerja sama–walaupun setengah hati–dengan Israel. Pilihan para pemimpin itu, tentu tidak bisa dikatakan mewakili aspirasi masyarakatnya. Karena di banyak negara Timur Tengah, semangat perlawanan terhadap Israel masih digemakan sebagian kelompok masyarakat walaupun gaungnya tertutupi oleh berita kerjasama tersebut.
Agaknya pengalaman Perjanjian Belfour, Perang Arab, dan berbagai kudeta kekuasaan yang pernah terjadi, menjadi pengalaman bagi para pemimpin negara-negara tersebut di dalam menyikapi isu Israel. Pilihan konfrontasi memang pernah diambil para pemimpin negara-negara Arab sebagai jalan menyikapi aneksasi Palestina oleh Israel, pada tahun 1948. Namun pasca Perang Arab Israel, negara-negara Arab mengalami instabilitas politik dan juga ekonomi. Instabilitas itu ditunjukkan dengan pergantian Rezim dari Najib kepada Gamal Abdul Nasser, berubahnya Irak dari Kerajaan kepada Republik, kudeta militer Kolonel Muammar Khaddafi terhadap Raja Idris di Libya, dan terpecahnya Yaman menjadi dua; Yaman Utara yang berhaluan Komunis dan Yaman Selatan yang pro Barat.
Para pemimpin Timur Tengah menyadari bahwa Perang Arab-Israel pada tahun 1948 tidak berangkat dari persiapan yang sangat matang. Secara ideologis, sebelum Perang itu diumumkan, bangsa Arab telah terpecah oleh nasionalisme dan sosialisme yang ketika itu diinisiasi oleh Uni Sovyet. Keterbelahan ideologi ini diyakini yang menjadi penyebab kekalahan bangsa Arab ketika menghadapi Israel. Walaupun ketika itu elan keislaman berupaya dibangkitkan para ulama Timur Tengah sebagaimana pernah dibangkitkan generasi pendahulu mereka.
Pasca Perang Arab-Israel itu, posisi politik Israel semakin menguat. Israel sebelumnya telah mengantongi dukungan politik dari Amerika Serikat, yang memfasilitasi Perjanjian Belfour serta menjinakkan Mesir, dan Inggris, yang menggaransi akan mengendalikan ritme politik Timur Tengah melalui Saudi Arabia.
Perlu dicatat di sini bahwa Mesir dan Saudi Arabia menempati posisi yang sangat penting di Timur Tengah. Bisa dikatakan bahwa suara Mesir dapat mempengaruhi negara-negara Arab di Jazirah Afrika Utara, seperti Tunisia, Libia, Al-Jazair, Marokko, Mauritania, dan Sudan. Sedangkan Saudi Arabia mempunyai pengaruh terhadap Yaman, Kuwait, Emirat Arab, Bahrain, Oman, dan Qatar (belakangan Qatar ingin juga diperhitungkan di panggung politik Timur Tengah).
Secara sederhana, dengan adanya garansi dari dua negara besar, Amerika Serikat dan Inggris, Israel dapat dengan leluasa memainkan peran politiknya di Timur Tengah. Tawaran yang dibangun lumayan membuat para pemimpin Timur Tengah berpikir keras; berani mengganggu Israel berarti siap menanggung risiko rentannya stabilitas dalam negeri.
Irak, Tunisia, Libya dan Suriah adalah bukti dari “ancaman” di atas. Jatuhnya Saddam Husain, Muammar Khaddafi dan Zainel Abidin menunjukkan betapa kuatnya dominasi politik Israel itu. Lengsernya Muammar Khaddafi dari kursi kekuasaan, diduga bermula dari pernyataannya di KTT Arab pada tahun 2010 yang menyerang keberpihakan Saudi terhadap Amerika dan Israel. Bahkan secara terbuka, Khaddafi menyebut Raja Abdullah sebagai anjing peliharaan Amerika dan Israel. Sedangkan tergulingnya Saddam Husein dari kursi kekuasaan telah diupayakan Amerika Serikat sejak Presiden George Bush senior menjabat. Invasi Irak ke Kuwait dijadikan sebagai preseden untuk penggulingan itu.
Bagaimana dengan Turki? Turki tampaknya banyak belajar dari kualatnya melawan Israel. Tergulingnya Sultan Abdul Hamid II yang mendorong lahirnya Revolusi Turki muda tampaknya menjadi pelajaran penting bagi kalangan Islamis untuk mempertahankan dominasi. Di sisi lain, Turki harus menanggung beban sejarah sebagai mantan negara besar di Eropa yang harus diterima kembali di komunitas Eropa. Karena itu, bagi Rezim Erdogan (baca Erdowan) menghadapi Israel harus memakai filosofi acuh-acuh butuh. Ini jelas tidak sederhana.
Dengan kata lain, bagi negara-negara Timur Tengah berhubungan dengan Israel itu jelas bukan pilihan mudah. Ini tentu berbeda dengan yang dilihat sebagian orang Indonesia di fb yang melihat hubungan dengan Israel semudah menebak pilihan multiplechoice (tebak kancing). Atau semudah lambene dhewe’, dengan berteriak “kampret”. Apalagi semudah cangkrukan sambil nguyah kwaci…
Wallahu a’lam bis shawab.