
Jakarta, 05/01 (Beritalangitan.com) – Eksekusi seorang ulama Syiah terkemuka di Arab Saudi membuat hubungan antara Iran dan Arab Saudi jadi buruk. Setelah serangan terhadap kedutaan besar Saudi di Teheran, Sabtu lalu juru bicara kementerian luar negeri Iran, Jaberi Ansari mengatakan kepada media bahwa Iran berkomitmen untuk melindungi misi diplomatik dan menegaskan bahwa tak ada diplomat Saudi yang luka atau bahkan hadir saat serangan terjadi.
“Untuk melindungi serta menjaga dan mengamati komitmen internasional tentang perlindungan misi diplomatik, Iran mengambil tindakan yang tepat dan akan terus melakukannya,” kata Ansari, dilansir dari CNN.
Dia menambahkan bahwa Iran sudah melakukan sebuah tindakan untuk menahan pelaku serangan tersebut. Namun menuduh Riyadh menggunakan insiden tersebut untuk makin mengobarkan ketegangan di antara kedua negaranya.
“Pemerintah Saudi sedang mencari beberapa alasan untuk mengejar kebijakannya sendiri yang tak bijaksana untuk menambahkan ketegangan di kawasan tersebut,” katanya.
Senin (4/1), Bahrain juga mengumumkan bahwa mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Mereka juga menyebut bahwa Iran ‘mencari ribut’ dan menjadi gangguan yang berbahaya bagi Bahrain dan negara Arab lainnya.
Sementara itu, Uni Emirat Arab juga mengatakan bahwa hubungan diplomatik dengan Iran juga sedang menurun. UAE juga menarik duta besarnya di Teheran dan juga mengatakan kalau akan mengurangi jumlah diplomat yang ditempatkan di Iran.
Ketegangan lama makin memuncak
Arab Saudi dan Iran memang sudah lama berselisih, namun banyak komentar muncul setelah Arab Saudi mengusir diplomat Iran. Ini memang tak biasa bagi banyak negara untuk memanggil pulang pejabat ketika berselisih, tapi para analis mengatakan bahwa keputusan Arab Saudi untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran karena eksekusi ulama Syiah Nimr al-Nimr ini bisa menjadi pertanda sesuatu yang jauh lebih serius akan segera terjadi.
“Pecahnya hubungan diplomatik antara Arab Saudi dan Iran nantinya akan sangat mudah lepas kontrol,” kata Fawaz Gerges, ketua studi kontemporer Timur Tengah di London School of Economics.
Mungkinkah perang diplomatik keduanya bisa mendidih? Gerges mengatakan bahwa hal ini mungkin saja terjadi, bahkan sebelum keputusan Arab Saudi untuk memutuskan hubungan dengan Iran.
“Situasi ini sangat mudah berubah antara dua negara paling kuat di Teluk, yang didominasi Sunni Arab Saudi dan Syiah Iran. Anda bisa perang kata-kata, Anda harus perang dengan proxy. Ini benar-benar bisa jadi sangat buruk dan berbahaya dalam beberapa minggu atau bulan ke depan,” kata Gerges.
Menurut Profesor Mohsen M. Milani dari University of South Florida, dalam analisisnya untuk CNN tahun 2011 lalu mengungkapkan bahwa Iran dan Saudi sejak dulu sudah saling bersaing sebagai produsen minyak utama. Mereka juga bersaing untuk memproklamirkan diri sebagai pembela Syiah dan Sunni.
“Ini adalah perang tentang geopolitik. Ini tentang kekuasaan, ini tentang pengaruh,” kata Gerges.
Ketegangan ini makin buruk setelah Saudi melakukan eksekusi ulama Syiah Nimr al-Nimr dan puluhan orang lainnya di pekan lalu.
Tak terima akan eksekusi tersebut, pengunjuk rasa menyerang kedutaan Saudi di Teheran, melemparkan bom molotov dan bersorak saat bangunan terbakar. Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei pun menyerukan balas dendam untuk melawan Saudi. (jm/cnnindonesia.com)