Oleh: Roni Tabroni
beritalangitan.com – Untuk yang kesekian kali, pemeritah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika meminta agar penyedia jasa layanan internet (internet service provider) untuk memblokir 11 situs, kebanyakan berbau Islam.
Langkah kontraproduktif dengan semangat demokrasi ini benar-benar terjadi di depan mata. Tidak ada argumentasi yang dibangun, tidak ada peringatan dan pembinaan. Vonis itu seolah-olah menegaskan kepanikan pemerintah yang tidak beralasan.
Hingga kini, pembicaraan mengenai pemblokiran itu belum tuntas dibahas dalam kajian-kajian akademis, diskusi di kalangan masyarakat, hingga obrolan santai di ruang-ruang publik. Sayangnya, diskusi tentang pemblokiran situs Islam ini seringkali tidak menarik, sebab hampir tidak ada yang pro terhadap langkah yang diambil pemerintah. Rata-rata masyarakat mengkritik cara instant yang dilakukan karena dianggap menyalahi semangat zaman.
Setidaknya Pemerintah dalam hal ini telah menentang dua arus penting yang saat ini menjadi bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pertama, langkah penutupan situs tersebut bertentangan dengan UUD 45 terkait dengan kebebasan berbicara.
Di abad global, pembicaraan banyak dilakukan manusia di ranah maya, itu artinya suara dalam konteks ini diwujudkan dalam bentuk teks dan kalimat yang hanya dapat diakses di dunia virtual. Ketika situs itu ditutup, sama artinya dengan menyumpal mulut seseorang yang sedang berbicara.
Kedua, penutupan situs Islam tersebut sama dengan menentang semangat reformasi. Mungkin ini baru terjadi sepanjang sejarah reformasi di Indonesia. Di mana penguasa menghentikan bentuk pembicara masyarakat yang mencoba memberikan informasi dengan pendapat dan perspektif yang diyakininya. Reformasi memang pada dinding-dinding tertentu perlu jeli melihatnya, karena masih ada bolong-bolong yang harus ditambal. Namun dalam konteks kebebasan berbicara dan berpendapat, semua sepakat dan bulat bahwa itu harus dilindungi.
Argumentasi pemerintah bahwa situs yang diblokir itu tidak masuk kategori lembaga pers karena tidak tercantum di dewan pers, tentu masuk akal, jika yang dimaksud adalah wacana pembredelan lembaga pers. Namun dalam ranah publik, pembredelan atau apapun itu, tidak menjadi perting ketika wacananya kini beralih pada pembungkaman.
Itu artinya, membredel lembaga pers dengan menutup blog individu (sekalipun) sebenarnya saat ini sama konyolnya. Publik tidak pernah mempersoalkan apakah media online itu terdaftar di dewan pers atau tidak, selam memberikan informasi dan pencerahan, lebih dari cukup untuk membantu kebuntuan informasi yang selama ini hanya sepihak.
Cara pemberangusan situs online – yang katanya bukan lembaga pers – yang semena-mena ini juga dapat dilihat kasat mata ketika tanpa dibarengi catatan dari sebuah tuduhan yang sangat kontroversial. Pilihan kata yang berbahaya seperti “radikal” (yang diasosiasikan dengan tindakah kekerasan dan berbahaya bagi Negara) dan disematkan kepada media-media yang diberangus itu sulit diterima akal sehat orang awam sekalipun. Hingga kini tidak ada penjelasan resmi apa yang dimaksud radikal dalam situs-situs tersebut. Kemudian konten mana yang dianggap radikal dan berbahaya tersebut.
Ketika publik sangat jijik dengan kesewenang-wenangan rezim Orde Baru yang selalu menjadi hantu media dengan pencabutan SIUPP, mereka masih memberikan argumentasi yang jelas. Ketika menuduh sebuah media dianggap menghasut, pemerintah Orde Baru waktu itu masih sempat memberikan contoh dari konten yang dianggap berbahaya dan mengganggu stabilitas pembangunan. kemudian diberikan tafsiran terhadap teks yang dimaksud. Jika ada kesempatan, pihak media sebenarnya bisa memberikan argumentasi dari setiap teks yang dianggap berbahaya. Namun, jika pun tidak, para awak media dapat melakukan introspeksi dari berita yang dibuatnya.
Hal ini tidak terjadi pada pemerintahan saat ini, sehingga membiarkan masyarakat bingung, termasuk crew situs online itu bertanya tanpa jawab yang pasti. Artinya Negara membiarkan ketidak pastian menjadi bagian dari kehidupan bernegara kita – di tengah kondisi ekonomi dan politik yang semakin carut marut.
Ketika penutupan situs Islam yang pertama kali misalnya, keheranan semakin menjadi ketika modus pemblokiran adalah merespon rekomendasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Agak sulit diterima kondisi ini sebab bagaimana bisa Negara yang memiliki otoritas tinggi ini bisa diintervensi dan diperintah oleh BNPT. Kemudian langkah pemblokiran diambil dengan tanpa peringatan dan pembinaan. Padahal argumentasi dan pembinaan lebih manusiawi dan beradab.
Karena langkah menutup situs Islam oleh pemerintah itu belum tentu yang terakhir, maka Kominfo sebaiknya tidak memposisikan diri sebagai “hantu” bagi memdia-media alternatif yang tumbuh di kalangan masyarakat, tetapi menjadi regulator dan motivator agar lahirnya media-media berkualitas. Pihak Legislatif juga dalam konteks ini harus jeli melihat persoalan publik, tidak hanya duduk manis dan menutup mata. Persoalan media adalah persoalan kebangsaan kita yang harus dirawat oleh berbagai pihak.* hidayatullah.com
Penulis dosen Jurnalistik Universitas Sangga Buana YPKP Bandung, Anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, dan Pemerhati Media Massa Islam