Silaturahmi

0
1403
KH. Hilmi Ahmad Hidayat S.Pd.I

Hilmi Ahmad Hidayat S.Pdi adalah Pimpinan Pondok Pesantren Gunung Cupu Jln.Pangeran Santri No. 100 Sumedang Jawa Barat, dan  sebagai pengurus Pusdai Kab. Sumedang.  Penulis adalah alumni pondok pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya, Jawa Barat

Beritalangitan.com – Puasa kita laksanakan pada hakikatnya adalah upaya untuk menyucikan jiwa kita. Selama sebelas bulan kita barangkali banyak melakukan kesalahan dan dosa. Bukan hanya kepada Allah, namun kita juga tidak mustahil pernah melakukan kesalahan kepada sesama. Maka pada bulan Ramadhan kita berusaha membersihkan dosa-dosa dengan melakukan ibadah-ibadah kepada-Nya. Selain itu, kita juga berusaha menjalin kembali hubungan diantara sesama kita yang selama ini mungkin kurang harmonis. Untuk itulah sebelum mengakhiri puasa Ramadhan, kita diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah. Setelah itu, barulah kita mengadakan silaturahmi untuk saling bermaafan.

Mungkin diantara kita selama ini ada yang tidak bertegur sapa dengan saudaranya. Pada kesempatan ini kita harus menghilangkan segala dendam dan kebencian. Kita harus saling memaafkan, karena Allah tidak akan mengampuni dosa kita, selagi kita masih mempunyai kesalahan dengan sesama kita. Dalam sebuah hadits Nabi Muhamad SAW menegaskan, “ Tidak halal (tidak boleh) bagi seorang muslim untuk tidak bertegur sapa dengan saudaranya lebih dari tiga hari ”.

Hadits ini menerangkan bahwa Nabi sangat menganjurkan adanya silaturahmi diantara kita, silaturahmi adalah lambang kesatuan dan kekompakan umat islam. Tanpa silaturahmi umat islam akan lemah, sebab mereka tidak bersatu.

Bagaimana bentuk silaturahmi dan  saling memaafkan yang dianjurkan dalam islam ? agama islam menganjurkan bahwa silaturahmi itu haruslah didasarkan oleh ketulusan. Artinya, masing-masing kita harus terlebih dahulu membuang segala perasaan yang tidak enak. Semua yang telah berlalu sama-sama dibuang dan kita akan menjalankan kehidupan kita kembali secara lebih baik dari masa-masa sbelumnya. Islam tidak pernah mengajarkan umatnya bersifat pendendam.

Rasulullah SAW menegaskan bahwa Al-mukminu laisa bihaqd (orang beriman itu tidak punya sifat pendendam). Dengan kata lain, Islam tidak mengenal ungkapan “ Tiada Maaf Bagimu “, oleh karena itu sebagi seorang muslim kita harus menghilangkan segala sifat dendam dan menebarkan sifat pemaaf.

Sebuah kisah yang cukup populer menceritakan kepada kita bagaimana sifat pemaaf Rasulullah SAW kepada musuhnya. Suatu hari, ketika beliau sedang istirahat seorang diri disebatang pohon kurma, tiba-tiba datang seorang kafir yang hendak membunuhnya. Saat itu ia menghunuskan pedang kepada nabi SAW dan bekata, “wahai Muhamdad, siapa yang bisa melindungimu kalau hari ini kubunuh?” dengan tenang nabi SAW menjawab, “Allah” mendengar jawaban spontan dari Rasulullah, tubuh sikafir tadi bergetar dan akhirnya terjatuhlah pedangnya ke tanah. Kemudian nabi memungut pedang tersebut dan menanyakan hal yang sama kepada kafir tersebut. Ia ketakutan dan menyatakan hanya Rasullulah saja yang yang dapat melindungi dirinya dari kematian, Nabi pun memafkannya. Tidak sedikitpun tergores rasa dendam beliau kepada orang tersebut.

Kisah ini juga diperlihatkan oleh Nabi SAW ketika beliau disakiti oleh masyarakat Thaif yang menolak dakwah beliau. Kejadian tersebut menambah suasana hati Rasullulah semakin sedih dan prihatin, karena sebelumnya Di Mekkah beliau juga mengalami penolakan dari kalangan Aristokrat Mekkah, Malaikat Jibril meminta izin berdo’a kepada Allah dan menawarkan kepada Rasulullah untuk menghancurkan masyarakat Thaif yang  durhaka tersebut. Persis seperti hukuman yang pernah ditimpakan terhadap umat-umat terdahulu. Namun Nabi SAW tidak hal demikian, beliau malah berdo’a kepada Allah, “ Ya Allah, tunjukanlah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengerti ‘.

Nabi Muhamad SAW mengajarkan bahwa seorang muslim harus mampu memberi kedamaian dan ketenangan dimanapun ia berada (Al-Muslimu man salimal-muslimuna min lisanihi ala yadihi ) hal ini tentu harus didahului semangat silaturahmi dan sikap saling memafkan serta menghilangkan rasa dendam.

Dalam hal ini beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam pemberian maaf ini.

Pertama : Pemberian maaf timbul dari keinginan untuk berbuat baik atas dasar keimanan.

Kedua : Pemberian maaf harus bertujuan untuk perbaikan, perdamaian dan menghilangkan dendam.

Ketiga : Pemberian maaf harus timbul atas dasar kemurahan hati

Keempat : Pembeian maaf harus tetap berada dalam batas-batas yang dibenarkan agama.

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.