Oleh: Ust. Kemal Faisal Ferik (Pengasuh Majlis Komunitas Cinta Ilahi)
Beritalangitan.com – Mudik adalah tradisi yang telah berjalan sekian lama di Indonesia. Dalam tradisi mudik orang-orang biasanya mengisi dengan silaturahim dan bermaaf-maafan. Selain itu para pemudik memanfaatkan waktu mudik mereka di kamppung halaman dengan ziyarah ke makam-makam orang tua atau leluhur mereka. Sebuah tradisi yang kental dengan kandungan nilai-nilai keislaman
Tradisi mudik sendiri adalah tradisi asli Indonesia dan tidak akan anda temukan di negeri arab bahkan tidak ada contohnya dari Nabi, sahabat atau tabiin sekalipun.
Pada dasarnya, Islam itu agama. Islam bukan budaya dan bukan tradisi. Akan tetapi harus dipahami bahwa Islam tidak anti budaya dan tidak anti tradisi. Dalam menyikapi budaya dan tradisi yang berkembang di luar Islam, Islam akan menyikapinya dengan bijaksana, korektif dan selektif. Ketika sebuah tradisi dan budaya tidak bertentangan dengan agama, maka Islam akan mengakui dan melestarikannya. Tetapi, ketika suatu tradisi dan budaya bertentangan dengan nilai-nilai agama, maka Islam akan memberikan beberapa solusi, seperti menghapus budaya tersebut, atau melakukan islamisasi dan atau meminimalisir kadar mafsadah dan madharat budaya tersebut. Namun ketika suatu budaya dan tradisi masyarakat yang telah berjalan tidak dilarang dalam agama, maka dengan sendirinya menjadi bagian yang integral dari syari’ah Islam.
Demikian ini sesuai dengan dalil-dalil al-Qur’an, Hadits dan atsar kaum salaf yang dipaparkan oleh para ulama dalam kitab-kitab yang mu’tabar (otoritatif).
- Tradisi menurut al-Qur’an.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
ﺧُﺬِ ﺍﻟْﻌَﻔْﻮَ ﻭَﺃْﻣُﺮْ ﺑِﺎﻟْﻌُﺮْﻑِ ﻭَﺃَﻋْﺮِﺽْ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴﻦَ ( ﺍﻷﻋﺮﺍﻑ : 199).
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik. Al-Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani berkata:
ﻭَﺍﻟْﻌُﺮْﻑُ ﻣَﺎ ﻳَﻌْﺮِﻓُﻪُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻭَﻳَﺘَﻌَﺎﺭَﻓُﻮْﻧَﻪُ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ
“’Urf adalah sesuatu yang dikenal oleh masyarakat dan mereka jadikan tradisi dalam interaksi di antara mereka”. (Al-Sam’ani, Qawathi’ al-Adillah, juz 1 hlm 29).
Syaikh Wahbah al-Zuhaili berkata:
ﻭَﺍﻟْﻮَﺍﻗِﻊُ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻤُﺮَﺍﺩَ ﺑِﺎﻟْﻌُﺮْﻑِ ﻓِﻲ ﺍْﻵَﻳَﺔِ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﻤَﻌْﻨَﻰ ﺍﻟﻠُّﻐَﻮِﻱُّ ﻭَﻫُﻮَ ﺍْﻷَﻣْﺮُ ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﺤْﺴَﻦُ ﺍﻟْﻤَﻌْﺮُﻭْﻑُ
“Yang realistis, maksud dari ‘uruf dalam ayat di atas adalah arti secara bahasa, yaitu tradisi baik yang telah dikenal masyarakat.” (Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2/836).
Penafsiran ‘urf dengan tradisi yang baik dan telah dikenal masyarakat dalam ayat di atas, juga sejalan dengan pernyataan para ulama ahli tafsir. Al-Imam al-Nasafi berkata dalam tafsirnya:
( ﻭَﺃْﻣُﺮْ ﺑِﺎﻟْﻌُﺮْﻑِ ) ﻫُﻮَ ﻛُﻞ ُّﺧَﺼْﻠَﺔٍ ﻳَﺮْﺗَﻀِﻴْﻬَﺎ ﺍﻟْﻌَﻘْﻞُ ﻭَﻳَﻘْﺒَﻠُﻬَﺎ ﺍﻟﺸَّﺮْﻉُ .
“Suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf , yaitu setiap perbuatan yang disukai oleh akal dan diterima oleh syara’.” (Tafsir al-Nasafi, juz 2 hlm 82).
Al-Imam Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-Biqa’i juga berkata:
( ﻭَﺃْﻣُﺮْ ﺑِﺎﻟْﻌُﺮْﻑِ ) ﺃَﻱْ ﺑِﻜُﻞِّ ﻣَﺎ ﻋَﺮَﻓَﻪُ ﺍﻟﺸَّﺮْﻉُ ﻭَﺃَﺟَﺎﺯَﻩُ، ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌَﻔْﻮِ ﺳُﻬُﻮْﻟَﺔً ﻭَﺷَﺮَﻓﺎً
“Suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf, yaitu setiap perbuatan yang telah dikenal baik oleh syara’ dan dibolehkannya. Karena hal tersebut termasuk sifat pemaaf yang ringan dan mulia.” (Al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, juz 3 hlm 174).
Oleh karena yang dimaksud dengan ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik, al-Imam al-Sya’rani berkata:
ﻭَﻣِﻦْ ﺃَﺧْﻼَﻗِﻬِﻢْ ﺃَﻱ ﺍﻟﺴَّﻠَﻒِ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺢِ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬُﻢْ ﺗَﻮَﻗُّﻔُﻬْﻢ ﻋَﻦْ ﻛُﻞِّ ﻓِﻌْﻞٍ ﺃَﻭْ ﻗَﻮْﻝٍ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻌْﺮِﻓُﻮْﺍ ﻣِﻴْﺰَﺍﻧَﻪُ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﻭَﺍﻟﺴُّﻨَّﺔِ ﺃَﻭِ ﺍﻟْﻌُﺮْﻑِ، ﻷَﻥَّ ﺍﻟْﻌُﺮْﻑَ ﻣِﻦْ ﺟُﻤْﻠَﺔِ ﺍﻟﺸَّﺮِﻳْﻌَﺔِ، ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ : ﺧُﺬِ ﺍﻟْﻌَﻔْﻮَ ﻭَﺃْﻣُﺮْ ﺑِﺎﻟْﻌُﺮْﻑِ ﻭَﺃَﻋْﺮِﺽْ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴﻦَ ( ﺍﻷﻋﺮﺍﻑ : 199 ).
“Di antara budi pekerti kaum salaf yang shaleh, semoga Allah meridhai mereka, adalah penundaan mereka terhadap setiap perbuatan atau ucapan, sebelum mengetahui pertimbangannya menurut al-Qur’an dan hadits atau tradisi. Karena tradisi termasuk bagian dari syari’ah. Allah SWT berfirman: ““Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).” (Al-Imam al-Sya’rani, Tanbih al-Mughtarrin, hlm 14).
Paparan di aras memberikan kesimpulan, bahwa tradisi dan budaya termasuk bagian dari syari’ah (aturan agama), yang harus dijadikan pertimbangan dalam setiap tindakan dan ucapan, berdasarkan ayat al-Qur’an di atas.”
- Tradisi Dalam Sunnah.
Dalam hadits diterangkan:
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻰ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺭَﺿِﻰَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻗَﺎﻝَ ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺑُﻌِﺜْﺖُ ﻷُﺗَﻤِّﻢَ ﻣَﻜَﺎﺭِﻡَ ﺍﻷَﺧْﻼَﻕِ . ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺃﺣﻤﺪ ، ﻭﺍﺑﻦ ﺳﻌﺪ ﻭﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﺻﺤﺤﻪ ﻋﻠﻰ ﺷﺮﻁ ﻣﺴﻠﻢ . ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻰ ﻭ ﺍﻟﺪﻳﻠﻤﻰ .
“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.” (HR. Ahmad [8939], Ibnu Sa’ad (1/192), al-Baihaqi [20571-20572], al-Dailami [2098], dan dishahihkan oleh al-Hakim sesuai dengan syarat Muslim (2/670 [4221]).
Dalam banyak tradisi, seringkali terkandung nilai-nilai budi pekerti yang luhur, dan Islam pun datang untuk menyempurnakannya. Oleh karena itu, kita dapati beberapa hukum syari’ah dalam Islam diadopsi dari tradisi jahiliah seperti hukum qasamah, diyat ‘aqilah, persyaratan kafa’ah (keserasian sosial) dalam pernikahan, akad qiradh (bagi hasil), dan tradisi-tradisi baik lainnya dalam Jahiliyah. Demikian diterangkan dalam kitab-kitab fiqih. Sebagaimana puasa Asyura, juga berasal dari tradisi Jahiliyah dan Yahudi, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.
Islam juga sangat toleran terhadap tradisi. Dalam hadits lain diterangkan:
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻣُﻮْﺳَﻰ ﺍْﻷَﺷْﻌَﺮِﻱِّ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗَﺎﻝَ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠﻰَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺇِﺫَﺍ ﺑَﻌَﺚََ ﺃَﺣَﺪًﺍ ﻣِﻦْ ﺃََﺻْﺤَﺎﺑِﻪِ ﻓِﻲْ ﺑَﻌْﺾِ ﺃَﻣْﺮِﻩِ ، ﻗَﺎﻝَ : « ﺑﺸِّﺮﻭﺍ ، ﻭﻻ ﺗُﻨَﻔِّﺮُﻭﺍ ، ﻭﻳﺴِّﺮﻭﺍ ﻭﻻ ﺗُﻌَﺴِّﺮﻭﺍ » . ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ .
“Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang dari sahabatnya tentang suatu urusan, beliau akan berpesan: “Sampaikanlah kabar gembira, dan jangan membuat mereka benci (kepada agama). Mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR. Muslim [1732]).
Hadits di atas memberikan pesan bahwa Islam itu agama yang memberikan kabar gembira, dan tidak menjadikan orang lain membencinya, memudahkan dan tidak mempersulit, antara lain dengan menerima system dari luar Islam yang mengajak pada kebaikan. Sebagaimana dimaklumi, suatu masyarakat sangat berat untuk meninggalkan tradisi yang telah berjalan lama. Menolak tradisi mereka, berarti mempersulit keislaman mereka. Oleh karena itu dalam konteks ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻋَﻦْ ﺍﻟْﻤِﺴْﻮَﺭِ ﺑْﻦِ ﻣَﺨْﺮَﻣَﺔَ ﻭَﻣَﺮْﻭَﺍﻥَ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱ ﻧَﻔْﺴِﻲ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻻَ ﻳَﺴْﺄَﻟُﻮﻧِﻲ ﺧُﻄَّﺔً ﻳُﻌَﻈِّﻤُﻮﻥَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺣُﺮُﻣَﺎﺕِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺇِﻻَّ ﺃَﻋْﻄَﻴْﺘُﻬُﻢْ ﺇِﻳَّﺎﻫَﺎ . ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
“Dari Miswar bin Makhramah dan Marwan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada pada kekuasaan-Nya, mereka (kaum Musyrik) tidaklah meminta suatu kebiasaan (adat), dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah, kecuali aku kabulkan permintaan mereka.” (HR. al-Bukhari [2581]).
Dalam riwayat lain disebutkan:
ﺃَﻣَّﺎ ﻭَﺍﻟﻠﻪِ ﻻَ ﻳَﺪْﻋُﻮﻧِﻲ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡَ ﺇِﻟَﻰ ﺧُﻄَّﺔٍ ، ﻳُﻌَﻈِّﻤُﻮﻥَ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺣُﺮْﻣَﺔً ، ﻭَﻻَ ﻳَﺪْﻋُﻮﻧِﻲ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺻِﻠَﺔٍ ﺇِﻻَّ ﺃَﺟَﺒْﺘُﻬُﻢْ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ . ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺷﻴﺒﺔ
“Ingatlah, demi Allah, mereka (orang-orang musyrik) tidak mengajakku pada hari ini terhadap suatu kebiasaan, dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah, dan tidak mengajukku suatu hubungan, kecuali aku kabulkan ajakan mereka.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, [36855]).
Hadits di atas memberikan penegasan, bahwa Islam akan selalu menerima ajakan kaum Musrik pada suatu tradisi yang membawa pada pengagungan hak-hak Allah dan ikatan silaturrahmi. Hal ini membuktikan bahwa Islam tidak anti tradisi. Bahkan mengapresiasi tradisi yang dapat membawa pada kebaikan.
- Tradisi Menurut Sahabat
Perhatian Islam terhadap tradisi juga ditegaskan oleh para sahabat, antara lain Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang berkata:
ﻗﺎﻝ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ : ﻣَﺎ ﺭَﺁَﻩُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤُﻮْﻥَ ﺣَﺴَﻨًﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺣَﺴَﻦٌ ﻭَﻣَﺎ ﺭَﺁَﻩُ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤُﻮْﻥَ ﺳَﻴِّﺌﺎً ﻓَﻬُﻮَ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺳَﻲِّﺀٌ . ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺣﻤﺪ ﻭﺃﺑﻮ ﻳﻌﻠﻰ ﻭﺍﻟﺤﺎﻛﻢ
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Tradisi yang dianggap baik oleh umat Islam, adalah baik pula menurut Allah. Tradisi yang dianggap jelek oleh umat Islam, maka jelek pula menurut Allah.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan al-Hakim).”
Menjaga tradisi, berarti menjaga kebersamaan. Melanggar tradisi dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan di kalangan umat. Demikian ini sebagaimana kita dapati dalam interaksi para sahabat dan ulama salaf dengan trasidi. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan:
ﻋَﻦْ ﻋَﺒْﺪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦِ ﻳَﺰِﻳﺪَ ﻗَﺎﻝَ ﺻَﻠَّﻰ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥُ ﺑِﻤِﻨًﻰ ﺃَﺭْﺑَﻌًﺎ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﻣَﻊَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻭَﻣَﻊَ ﺃَﺑِﻰ ﺑَﻜْﺮٍ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻭَﻣَﻊَ ﻋُﻤَﺮَ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻭَﻣَﻊَ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﺻَﺪْﺭًﺍ ﻣِﻦْ ﺇِﻣَﺎﺭَﺗِﻪِ ﺛُﻢَّ ﺃَﺗَﻤَّﻬَﺎ . ﻗَﺎﻝَ ﺍﻷَﻋْﻤَﺶُ ﻓَﺤَﺪَّﺛَﻨِﻰ ﻣُﻌَﺎﻭِﻳَﺔُ ﺑْﻦُ ﻗُﺮَّﺓَ ﻋَﻦْ ﺃَﺷْﻴَﺎﺧِﻪِ ﺃَﻥَّ ﻋَﺒْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺃَﺭْﺑَﻌًﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻘِﻴﻞَ ﻟَﻪُ ﻋِﺒْﺖَ ﻋَﻠَﻰ ﻋُﺜْﻤَﺎﻥَ ﺛُﻢَّ ﺻَﻠَّﻴْﺖَ ﺃَﺭْﺑَﻌًﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﺨِﻼَﻑُ ﺷَﺮٌّ . ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻭﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
Dari Abdurrahman bin Yazid, berkata: “Utsman menunaikan shalat di Mina empat raka’at.” Lalu Abdullah bin Mas’ud berkata: “Aku shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dua raka’at. Bersama Abu Bakar dua raka’at. Bersama Umar dua raka’at. Bersama Utsman pada awal pemerintahannya dua raka’at. Kemudian Utsman menyempurnakannya (empat raka’at). Ternyata kemudian Abdullah bin Mas’ud shalat empat raka’at. Lalu beliau ditanya: “Anda dulu mencela Utsman karena shalat empat raka’at, sekarang Anda justru shalat empat raka’at juga.” Ia menjawab: “Berselisih dengan jama’ah itu tidak baik.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi).
(Cv)