
Beritalangitan.com – Selanjutnya seperti dilansir cnn indonesia, Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Pratiwi Febri mengatakan, konstitusi Pasal 28 UUD 1945 secara tegas menjamin kebebasan dan kemerdekaan setiap orang untuk berkumpul dan berekspresi, termasuk penggunaan atribut yang diduga sebagai lambang PKI. Karena itu, pelarangan atas penggunaan simbol palu arit dinilai melanggar konstitusi. “Dasar hukum penangkapan orang yang menggunakan atribut palu arit ini apa? Melawan hukumnya di mana?” ujar Pratiwi saat ditemui di Kantor LBH Jakarta, Selasa (10/5).
Selama ini yang dijadikan landasan pelarangan simbol palu arit adalah Tap MPRS Nomor XXV/MPRS Tahun 1966 tentang larangan Partai Komunis Indonesia dan underbouw-nya serta ajaran komunisme.
Namun, kata Pratiwi, kebijakan itu telah dikaji ulang. Sementara penggantinya, Tap MPR Nomor I Tahun 2003 tidak menyebutkan ada larangan penggunaan atribut berlogo palu arit. Tap MPR terbaru itu menyebutkan, Tap MPRS Nomor XXV/MPRS Tahun 1966 ke depan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Ketetapan baru itu menurut Pratiwi justru mengebiri pelarangan PKI karena mengedepankan hak asasi manusia, hukum, dan keadilan.
“Gambar palu arit tidak ada yang salah dengan simbol itu. Kalau dibilang ini manifes dari PKI, Indonesia negara hukum, bukan negara kekuasaan yang tanpa ada hukumnya, jadi kalau ada PKI, proseslah itu,” katanya.
Demikianlah, masih banyak kalangan terpelajar yang menganggap kasus-kasus peredaran simbol-simbol komunis di Indonesia sebagai sesuatu yang tidak perlu ditanggapi serius, bahkan menganggap pelarangannya sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sekali lagi, slogan “hak asasi manusia”, “demokrasi”, dan “kebebasan berekspresi” yang tidak jelas penerapannya tersebut menjadi senjata andalan untuk melemahkan usaha preventif penyebaran paham komunisme di Indonesia. Padahal, bagi yang mau sedikit membaca beberapa buku dan artikel tentang simbol-simbol komunisme, tentu dia dapat memahami bagaimana pentingnya peran simbol palu arit sebagai alat propaganda.
Simbol Palu Arit: Sebuah Alat Propaganda yang Berhasil
Simbol Palu dan Arit (Hammer and Sickle) merupakan simbol yang paling dikenali dari kekuatan Soviet. Sejarahnya pun penuh dengan rahasia dan misteri. Disinyalir bahwa ideologi Freemason, Hindu, bangsa Arya kuno dan mitologi Slavia dapat ditemukan dalam simbol lambang Soviet tersebut.
Dalam sebuah artikel berjudul Mystical emblem: The secrets of the hammer and sickle (rbth.com/arts/2014/07/19/serp_i_molot_38327.html), dijelaskan bahwa simbol palu arit yang dipakai sebagai lambang di seragam tentara USSR Soviet silam dibuat pada tahun 1918 oleh seniman Moskow Yevgeny Kamzolkin. Pada musim panas 1918 sidang kelima Soviet secara resmi mengadopsi simbol tersebut. Menariknya, Kamzolkin bukanlah seorang yang berpaham komunis, namun dia adalah seorang yang sangat religius dari keturunan keluarga jutawan. Dia merupakan anggota perkumpulan seniman mistis Society of Leonardo da Vinci selama lebih dari sepuluh tahun dan pasti sangat mengetahui tentang makna simbol-simbol.
Seorang filsuf Rusia Alexei Losev memberikan pandangan tentang simbol palu arit tersebut, “Palu arit merupakan simbol yang menggerakkan massa. Ia tidak hanya sebuah simbol, namun sebuah prinsip teknis konstruktif untuk gerakan dan keinginan manusia… disini kita melihat simbol kesatuan pekerja dan petani, simbol negara Soviet.”
Akademisi sekaligus sejarawan Yury Gauthier menulis di buku diarinya pada 1921, “Kekejaman meliputi Moskow selama berhari-hari. Bagaimana ini akan berakhir? Jawabannya terletak pada kata “molot serp (palu dan arit)”. Bacalah terbalik, maka kata ini akan terdengar seperti “prestolom (dengan tahta)” [tulis bersamaan dan balik, kata untuk palu (molot) dan arit (serp) akan membentuk kata prestolom yang berarti “dengan tahta] – seperti inilah bagaimana penduduk Moskow mengisyaratkan kediktatoran rezim Bolsheviks.”
Christopher Wharton dalam tulisannya berjudul “The Hammer and Sickle: The Role of Symbolism and Rituals in the Russian Revolution (http://www.westminstercollege.edu/ myriad/?parent=2514&detail;4475&content=4794) juga menulis bahwa setelah dinasti Paul Romanov tumbang dan pemerintahan sementara terbentuk, para pemimpin baru revolusi saling bertemu untuk mengubah kesan pemerintah Tsar yang familiar di mata masyarakat dengan pemerintahan revolusi. Di samping itu, revolusi mensyaratkan mobilisasi massa dan pastisipasi dari perubahan paradigma sosial dan politik. Masyarakat harus dibujuk dengan sebuah filosofi yang sama sekali asing di pikiran mereka. Bagaimanapun, masyarakat mulai pegunungan Ural hingga daerah Pasifik Timur Jauh, mulai daerah tundra Siberia di benua Artik hingga India, harus digerakkan dan disatukan dalam sebuah transformasi sosial, dengan menggunakan lagu-lagu, ritual, dan propaganda, berbagai filosofi politik akan lebur menjadi satu konsep sederhana.
Christhoper melanjutkan, bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, simbol pemerintahan dan partai, ritual, demo massa, dan ilustrasi sosial berperan vital dalam sebuah revolusi ideologi. Lambang partai, tanda, ikon-ikon seperti patung dan gambar lukisan, poster, dan lencana politik, mulai lambang palu arit hingga bintang lima merah, merupakan media utama dalam mengantarkan pesan-pesan revolusi. Di samping pembuatan simbol, ritual dan demonstrasi massa seperti parade, lagu-lagu himne, dan pidato retorik juga berperan penting karena dapat menunjukkan perubahan sosio-politik dan indoktrinasi ideologi Bolshevik (komunis). Simbol dan ritual pada 1917 menjadi parameter utama dalam menggambarkan post-revolusi Rusia.
Berbagai permainan simbol dan ritual yang melibatkan massa ternyata menjadi senjata ampuh untuk menyebarkan paham komunisme di hati masyarakat. Tokoh komunis terkenal, Lenin pada 26 Oktober 1917 mengeluarkan pengumuman massal tentang proklamasi yang ditempelkan di dinding-dinding St Pittersburgh sebagai basis kelompok komunis Bolshevik di Rusia. Setelah rezim Bolshevik mendapatkan kekuatan dan dukungan penuh dari masyarakat tahun 1918, para pemimpin revolusi mulai memperkenalkan simbol dan ritual baru yang memadukan tradisi Rusia dengan ideologi revolusi modern internasional, termasuk lambang palu arit yang dibuat oleh Yevgeny Komzulkin. Simbol dan ritual pemerintahan Tsar sebagai rezim lama telah tumbang, dan telah digantikan sama sekali oleh lambang yang menggambarkan sikap heroik dan kemuliaan kekuataan masyarakat.
Warna merah misalnya, melambangkan suara revolusi. Warna merah membangkitkan kesan sosial yang mudah dimengerti oleh masyarakat Rusia karena merah merupakan simbol tradisional kaum Timur dan kebangkitan Kristus. Selain itu, merah juga mensugestikan semangat kelahiran kembali sebuah negara. Karena itulah, maka Bolsheviks menggunakan warna merah sebagai simbol revolusi. Dalam perjalanan perang sipil selama revolusi, warna merah menjadi pengingat akan darah yang telah mengalir dari para pejuang revolusi pada 1905 dan 1917.
Lambang palu dan arit, tidak diragukan lagi menjadi lambang yang paling terkenal dan berpengaruh dari rezim komunisme Rusia dan dunia. Simbol resmi mengabadikan dua alat familiar yang memperlihatkan esensi ideologi komunis. Semangat kerja kaum proletar dilambangkan dengan palu, sedangkan petani desa dilambangkan dengan arit. Dalam tinjauan gender, palu merepresentasikan laki-laki dan arti merepresentasikan perempuan. Dalam tinjauan semangat bekerja, palu digunakan untuk membangun industri, mesin, kota, kekuatan, dan masa depan. Sedangkan arit melambangkan agrikultur, keterbelakangan desa, pengasuhan, dan kesuburan.
Epilog
Melihat beberapa keterangan diatas, dapat kita pahami bahwa revolusi komunisme yang terjadi di Rusia tidak lepas dari peran propaganda simbol-simbol seperti palu arit. Propaganda simbol palu arit terbukti efektif sebagai sarana indoktrinasi paham komunis yang mudah diterima oleh masyarakat luas. Namun, revolusi yang disebarkan komunisme mulai sejak lahirnya hanyalah membuahkan rezim teror baru yang menjadi bencana terbesar umat manusia di dunia selama satu abad. Hal ini terjadi di beberapa negara di dunia termasuk di Indonesia.
Oleh karena itu, masihkah masyarakat Indonesia mau mengulang ‘sejarah kelam’ komunisme dengan membiarkan maraknya peredaran simbol dan aktivitas berbau komunis di masyarakat terutama generasi muda yang kebanyakan buta akan sejarah bangsa Indonesia? Jika klaim-klaim tentang tren anak muda, ketidaktahuan, kebebasan ekspresi, dan demokrasi yang berulang-ulang terus dibenarkan, jangan disesali jika beberapa tahun ke depan (atau bahkan mungkin hari ini) kita akan mendapati generasi bangsa kita ‘bangga’ dengan lambang palu arit di kaos, bendera, tembok, dan foto-foto di media sosial serta menganggap komunisme sebagai ‘anugerah Tuhan’ di berbagai acara diskusi, orasi massa, dan seminar. WaLlahu A’lam. (as)
HABIS
Sumber : islampos